Jumat, 20 Juni 2014

Sejarah Sumatera Barat

PEMBERONTAKAN RAKYAT DALAM MASA PERJUANGAN KEMERDEKAAN DI SUMATERA BARAT 1945-1950
Volksfront dibentuk di Sumatera Barat setelah adanya rapat kni (Komite Nasional Indonesia) pada pertengahan Maret 1946. Volksfront  atau Persatuan Perjuangan ini mengambil model Persatuan Perjuangan yang dibentuk Tan Malaka di Pulau Jawa. Pembentukan Volksfront diharapkan dapat mengatasi masalah perbedaan pendapat dan konflik-konflik, personal, politik, dan ideologi yang terjadi sebelumnya.
Namun harapan ini tidak bertahan lama, karena ada pertentangan antar Volksfront dengan Residen. Hal ini dikarenakan Residen menganggap kebijakan yang dilakukan oleh badan tersebut melampaui kewenangannya. Seperti misalnya,  Volksfront ternyata tidak hanya memungut pajak seperti yang ditugaskan kepadanya, tetapi juag memungut bea masuk atas setiap barang yang keluar masuk kota.
Sumber utama yang menuju pada konflik antara Residen dan Volksfront adalah masalah moneter, yaitu sewaktu pemerintah Indonesia berusaha menggantikan mata uang Jepang dan Nica dengan mata uang republik. Dalam hal ini Volksfront mengambil langkah ekstrim yang justru menyebabkan kekacauan keadaan ekonomi di Sumatera Barat. Karena itu, Residen terpaksa mengambil alih kendali dan membatalkan semua keputusan Volksfront.
Usaha kompromi antara Residen dengan Volksfront ternyata tidak mampu menolong keadaan. Masyarakat terutama yang berada di daerah pedesaan menjadi bingung dan tidak tahu pasti, pedoman siapa sebenarnya yang harus dipatuhi. Dalam suasana yang seperti itu, muncul beberapa gerakan pemberontakan yang cukup serius dan mengancam persatuan dan keutuhan dari perjuangan rakyat di Sumatera Barat. Peristiwa itu adalah pemberontakan Baso dan pemberontakan 3 Maret 1947.




Peristiwa Baso
Baso adalah sebuah kecamatan yang jaraknya hanya beberapa kilometer dari Kota Bukittinggi. Gerakan di daerah ini yang disebut dengan gerakan Baso dipimpin oleh Abdul Rahman Tuanku Nan Putih dan saudara tirinya, Burhan Malin Kunieng Tuanku Nan Hitam. Pusat gerakan Baso berada di Sarik Lawas di atas bukit dekat kecamatan Baso.
Tuanku Nan Putih adalah ulama yang berpengaruh di daerahnya sejak tahun 1920-an. Sewaktu pemberontakan PKI tahun 1927 dia ditangkap Belanda lalu dibuang ke Madura selama tiga tahun. Dalam tahun 1930-an ia bergabung dengan Permi dan PNI Baru. Pada masa pendudukan Jepang, ia mendorong para pengikutnya untuk masuk giyugun.
Sewaktu Jepang kalah, ia bergabung dengan saudara tirinya Tuanku Nan Hitam yang baru pulang dari Bangkinang bersama tiga perwira Jepang dengan sejumlah truk. Dari ketiga perwira Jepang itulah Tuanku Nan Putih dan Tuanku Nan Hitam mendapat bantuan latihan militer bagi sejumlah pemuda setempat yang memperoleh reputasi sebagai jagoan yang gagah berani. 
Kedua tokoh ini menyokong Program Minimum Tan Malaka yang hanya mau berunding dengan pihak Sekutu atau Belanda atas dasar pengakuan 100% Indonesia Merdeka. Bahkan Tuanku Nan Hitam menafsirkan 100% merdeka itu radikal lagi daripada saudaranya. Pengikut kedua orang ini sebagian ikut bergabung di garis depan kota Padang, sementara yang lainnya mulai melakukan tindakan-tindakan revolusioner di sekitar kecamatan Baso.
Seperti juga beberapa kekuatan revolusioner fanatik di Jawa, Gerakan Baso umumnya juga mengarahkan sasarannya kepada orang-orang yang dianggap terlibat dengan kekuasaan Kolonial Belanda contohnya Landjumin Dt. Tumanggung bekas perwira tinggi dan anggota Volksraad zaman Kolonial Belanda (Bapak angkat Chaerul Saleh) diculik dan dibunuh.
Pengaruh gerakan ini sampai ke Kota Tengah, Suaian, dan lain-lain. Menurut beberapa sumber  ajaran Tuanku Nan Putih dan Tuanku Nan Hitam ini menganggap ajaran agama adalah bohong belaka, Tuhan Allah itu tidak ada, surga dan neraka cuma ada di dunia saja bukan di akhirat. Barang siapa yang mengerjakan sholat ditangkap. Bisa saja keterangan ini salah dan terlalu mendramatisir mengingat tindakan-tindakan para pengikut kedua orang ini dinilai cukup keji seperti tidak mengenal Tuhan.
Gerakan Baso ini mempunyai barisan sendiri, dan mempunyai pos-pos penjagaan di antara jalan Bukittinggi dan Payakumbuh disebuah jalan sepi yang bernama Ujung Tengah. Anggota gerakan ini melakukan perampokan, pencurian, penculikan dan pembunuhan-pembunuhan terhadap orang yang dianggap mereka sebagai lawan-lawan atau yang tak disenangi. Kerbau, sapi, beras dan padi menjadi sasaran pencurian dan perampokan. Pada malam hari mereka merampok berkeliling kampung. Menurut kepercayaan pemimpin mereka, orang-orang yang tidak masuk gerakan mereka, boleh dibunuh dan orang itu dianggap kolonialis, karena itulah banyak orang yang mereka tuduh sebagai kapitalis atau kaki tangan kolonialis hilang begitu saja atau dikabarkan dibunuh oleh Gerakan Baso ini.
Ada yang mengatakan bahwa gerakan itu mengajarkan bahwa neraka dan surga itu ada di bumi. Orang-orang yang diculik itu kemudian disiksa di neraka mereka. Salah seorang tokoh masyarakat yang disiksa sampai mati di neraka itu adalah Datuk Tumenggung.
Gerakan Baso ini semakin meningkat di saat pemerintah terpecah belah dan belum memiliki komando negara yang memadai. Pemerintah sendiri pernah mengirim utusan untuk membujuk dua bersaudara itu untuk melunakkan tindakan-tindakan mereka yang mengarah pada tindakan yang semakin brutal. Namun usaha itu tidak berhasil.
Para pemimpin karesidenan semakin khawatir atas gerakan Baso itu, terutama berkaitan dengan politik yang ditempuh oleh pemerintah pusat yang dianggap sebagai kompromistis terhadap kekuatan Belanda, yang sangat tidak memuaskan kalangan masyarakat Minangkabau. Sementara gerakan Baso dikenal sangat mencela setiap tindakan kompromistis terhadap Inggris dan Belanda. Selain itu gerakan Baso mempunyai lasykar bersenjata yang cukup lengkap yang berada di luar kontrol pemerintah. Oleh karena itu pemerintah sangat khawatir gerakan itu dapat mengilhami dan memicu rasa ketidakpuasan yang menggumpal di kalangan masyarakat Minangkabau itu menjadi satu aksi kerusuhan yang sangat merugikan kekuatan Republik dalam menghadapi kekuatan Belanda dan antek-anteknya.
Untuk mencegah munculnya permasalahan yang lebih serius lagi maka akhirnya pemerintah di Sumatera barat memerintahkan tiga Batalion Resimen 1 untuk bergerak menuju Baso. Daerah-daerah yang menjadi sasaran operasi ini ialah kampung-kampung Simarasok, sungai Sarik, Pincuran Putih, Ujung Gubuk, Kotatinggi dan hampir seluruh daerah kecamatan Baso. Operasi militer besar-besaran itu boleh dikatakan tidak mendapatkan perlawanan yang cukup berarti dari laskar Baso yang sempat menakutkan itu. Operasi tersebut berhasil menangkap puluhan anggota-anggota Gerakan Baso beserta kedua pemimpin mereka Tuanku Nan Hitam dan Tuanku Nan Putih. Gerakan operasi penumpasan berlangsung sampai tanggal 16 April 1946 menurut Abdul Halim, Komandan Batalion 2 dari Resimen 1, jumlah korban dari peristiwa itu berjumlah sekitar 113 orang meninggal dunia.
Kedua tokoh Baso itu kemudian dijatuhi hukuman mati. Menurut pihak keluarga kedua tokoh Baso itu, mereka tidak pernah diberi tahu secara resmi tentang hukuman itu. Bahkan, mereka tidak pernah menerima kembali mayat dari anggota keluarganya itu.
Unjuk kekuatan dari pihak pemerintah itu dianggap perlu meningat situasi politis di Sumatera Barat cukup kritis. Tindakan yang mereka ambil sekaligus dimaksudkan sebagai kekuatan-kekuatan yang mencoba membelot dan memanfaatkan kekacauan di daerah lain di Sumatera Barat.

Peristiwa 3 Maret 1947
Pada hakekatnya, Peristiwa 3 Maret 1937 merupakan konflik antara berbagai kekuatan-kekuatan sosial setempat, khususnya dua kekuatan sosial, yaitu pemerintah dengan TRI-nya. Namun kemudian, konflik ini menjalar dan pemerintah juga harus berhadapan dengan tokoh-tokoh cendekiawan Barat, dan bahkan partai-partai dengan laskar bersenjatanya.
Terdapat beberapa hal yang menjadi latar belakang dari peristiwa ini; diantaranya adalah;
 Pertama, rasa tidak puas dari golongan agama yang merasa bahwa pemerintah sudah dipengaruhioleh golongan sosialis dan komunis terutama jika dilihat dari penasihat-penasihat sipil keresidenan yang dekat dengan Residen. Hampir semua penasihat-penasihat tersebut berasal dari partai sosialis atau komunis.
Kedua, di dalam tubuh pemerintah dan TRI telah tumbuh golongan cendekiawan yang berpendidikan Barat. Cendekiawan-cendekiawan ini hanya dianggap mementingkan keduniawian dan mengabaikan masalah agama.
Ketiga, masyarakat merasa tidak puas terhadap sikap pemerintah yang dianggap memberikan peluang kepada sekutu (NICA) sehingga mengakibatkan lambannya revolusi.
 Keempat, ketidakpuasan masyarakat melihat kehidupan mewah sejumlah perwira Divisi IX dan dianggap banyaknya korupsi mulai menghinggapi golongan perwira.
 Kelima, di dalam tubuh TRI sendiri muncul kecemburuan sosial antara perwira-perwira dengan bawahannya. Apalagi ketika diadakan penggabungan laskar ke dalam tubuh TRI, kecemburuan antara dua pihak ini tampak semakin terlihat nyata.
Keenam, masyarakat Sumatera Barat pada masa itu, khususnya yang ada di Bukittinggi berada dalam kondisi sosial ekonomi yang sedang merosot ke tingkat kemiskinan. Sementara itu, dilain pihak, TRI justru hidup dalam kemewahan dan banyak melakukan tindakan berfoya-foya.
Selain beberapa penyebab atau alasan di atas, terdapat satu alasan penting terjadinya pemberontakan tersebut, yaitu adanya kejengkelan dari beberapa tokoh politisi agama setempat akibat dari adanya ketimpangan atau ketidakseimbangan mereka di antara pemerintah pedesaan dan dukungan yang mereka peroleh dari pedesaan tersebut.
Tokoh-tokoh Islam seperti Saalah Jusuf Sutan Mangkuto dan Adam B.B. menyaksikan situasi di karesidenan yang memonopoli posisi penting di lingkaran petinggi sipil dan militer adalah kelompok intelektual sekuler. Padahal yang memenangkan dalam pemilihan nagari adalah kelompok agama, khususnya yang saat itu mendapatkan dukungan dari partai Masyumi.
Rasa tidak puas dari kelompok Islam memuncak sewaktu diadakan pertemuan KNIP (Komite Nasional Indonesia Pusat) di Malang yang bertujuan mengesahkan isi perjanjian Linggarjati. Beberapa kelompok agama menjadi yakin bahwa kaum intelektual pendidikan Belanda berusaha mencari simpati dan berpikir cara Belanda.
Kemudian muncullah suatu badan organisasi yang diberi nama PAKI (Pemberantasan Anti Kemerdekaan Indonesia) yang digerakkan oleh beberapa partai politik Islam dan kelompok laskar agama dan sekuler. Gerakan ini menyebar di berbagai kota di Sumatera Barat. Rencana gerakan ini antara lain adalah untuk mengadakan perebutan kekuasaan di Bukittinggi serta kota-kota lainnya dari tangan sipil dan militer, sebagai gerakan untuk melaksanakan gerakan dipilihlah barisan Hizbullah tetapi dinyatakan hanya beberapa orang saja, akan menyerahkan ulama-ulama untuk membantu memotivasi rakyat dalam rencana perebutan kekuasaan, dan rencana perebutan kekuasaan ini akan diadakan tanggal 3 Maret 1947.
Kemudian, sesuai dengan rencana, pada tanggal 3 Maret 1947 dilakuakan pemberontakan tersebut. gerakan ini dilakukan di Bukittinggi, Padang Panjang, Payakumbuh, Pariaman dan beberapa kota lainnya di Sumatera Barat. Sasaran yang sebenarnya dalam perebutan kekuasaan ini berhasil lolos, seperti perwira TRI Ismail Lengah, A. Alim dan lainnya, dan hanya beberapa tokoh sipil saja yang berhasil ditangkap.
Di Kota Padang Panjang, Payakumbuh dan Pariaman, gerakan ini tidak jadi meletus karenasituasi dapat segera diamankan dan dikuasai oleh TKR. Semua pemimpin dari gerakan ini dapat ditangkap. Ternyata mereka berasal dari berbagai aliran dan golongan. Mereka kemudian diajukan ke pengadilan.  Putusan pengadilan menyatakan bahwa gerakan ini tidak ditunggangi oleh suatu partai tertentu dari golongan Islam, yang sekaligus menyatakan bahwa Masyumi adalah partai yang bersih yang tidak ada sangkut pautnya dengan gerakan pemberontakan ini.


1 komentar:

  1. Salam, di mana sumbernya? Ini menarik, tapi sumbernya dimana? Terima kasih
    Heidi Goes
    dari Belgia

    BalasHapus