PEMBERONTAKAN RAKYAT DALAM MASA PERJUANGAN KEMERDEKAAN DI
SUMATERA BARAT 1945-1950
Volksfront dibentuk di Sumatera Barat setelah adanya rapat kni
(Komite Nasional Indonesia) pada pertengahan Maret 1946. Volksfront atau Persatuan
Perjuangan ini mengambil model Persatuan Perjuangan yang dibentuk Tan Malaka di
Pulau Jawa. Pembentukan Volksfront diharapkan
dapat mengatasi masalah perbedaan pendapat dan konflik-konflik, personal,
politik, dan ideologi yang terjadi sebelumnya.
Namun harapan ini tidak
bertahan lama, karena ada pertentangan antar Volksfront dengan Residen. Hal ini dikarenakan Residen menganggap
kebijakan yang dilakukan oleh badan tersebut melampaui kewenangannya. Seperti
misalnya, Volksfront ternyata tidak hanya memungut pajak seperti yang
ditugaskan kepadanya, tetapi juag memungut bea masuk atas setiap barang yang
keluar masuk kota.
Sumber utama yang menuju pada
konflik antara Residen dan Volksfront adalah
masalah moneter, yaitu sewaktu pemerintah Indonesia berusaha menggantikan mata
uang Jepang dan Nica dengan mata uang republik. Dalam hal ini Volksfront mengambil langkah ekstrim
yang justru menyebabkan kekacauan keadaan ekonomi di Sumatera Barat. Karena
itu, Residen terpaksa mengambil alih kendali dan membatalkan semua keputusan Volksfront.
Usaha kompromi antara Residen
dengan Volksfront ternyata tidak
mampu menolong keadaan. Masyarakat terutama yang berada di daerah pedesaan
menjadi bingung dan tidak tahu pasti, pedoman siapa sebenarnya yang harus dipatuhi.
Dalam suasana yang seperti itu, muncul beberapa gerakan pemberontakan yang
cukup serius dan mengancam persatuan dan keutuhan dari perjuangan rakyat di
Sumatera Barat. Peristiwa itu adalah pemberontakan Baso dan pemberontakan 3
Maret 1947.
Peristiwa Baso
Baso adalah sebuah kecamatan
yang jaraknya hanya beberapa kilometer dari Kota Bukittinggi. Gerakan di daerah
ini yang disebut dengan gerakan Baso dipimpin oleh Abdul Rahman Tuanku Nan
Putih dan saudara tirinya, Burhan Malin Kunieng Tuanku Nan Hitam. Pusat gerakan
Baso berada di Sarik Lawas di atas bukit dekat kecamatan Baso.
Tuanku Nan Putih adalah ulama
yang berpengaruh di daerahnya sejak tahun 1920-an. Sewaktu pemberontakan PKI
tahun 1927 dia ditangkap Belanda lalu dibuang ke Madura selama tiga tahun.
Dalam tahun 1930-an ia bergabung dengan Permi dan PNI Baru. Pada masa
pendudukan Jepang, ia mendorong para pengikutnya untuk masuk giyugun.
Sewaktu Jepang kalah, ia
bergabung dengan saudara tirinya Tuanku Nan Hitam yang baru pulang dari
Bangkinang bersama tiga perwira Jepang dengan sejumlah truk. Dari ketiga
perwira Jepang itulah Tuanku Nan Putih dan Tuanku Nan Hitam mendapat bantuan
latihan militer bagi sejumlah pemuda setempat yang memperoleh reputasi sebagai
jagoan yang gagah berani.
Kedua tokoh ini menyokong
Program Minimum Tan Malaka yang hanya mau berunding dengan pihak Sekutu atau
Belanda atas dasar pengakuan 100% Indonesia Merdeka. Bahkan Tuanku Nan Hitam
menafsirkan 100% merdeka itu radikal lagi daripada saudaranya. Pengikut kedua
orang ini sebagian ikut bergabung di garis depan kota Padang, sementara yang
lainnya mulai melakukan tindakan-tindakan revolusioner di sekitar kecamatan
Baso.
Seperti juga beberapa
kekuatan revolusioner fanatik di Jawa, Gerakan Baso umumnya juga mengarahkan
sasarannya kepada orang-orang yang dianggap terlibat dengan kekuasaan Kolonial
Belanda contohnya Landjumin Dt. Tumanggung bekas perwira tinggi dan anggota
Volksraad zaman Kolonial Belanda (Bapak angkat Chaerul Saleh) diculik dan
dibunuh.
Pengaruh gerakan ini sampai
ke Kota Tengah, Suaian, dan lain-lain. Menurut beberapa sumber ajaran Tuanku Nan Putih dan Tuanku Nan Hitam
ini menganggap ajaran agama adalah bohong belaka, Tuhan Allah itu tidak ada,
surga dan neraka cuma ada di dunia saja bukan di akhirat. Barang siapa yang
mengerjakan sholat ditangkap. Bisa saja keterangan ini salah dan terlalu
mendramatisir mengingat tindakan-tindakan para pengikut kedua orang ini dinilai
cukup keji seperti tidak mengenal Tuhan.
Gerakan Baso ini mempunyai
barisan sendiri, dan mempunyai pos-pos penjagaan di antara jalan Bukittinggi
dan Payakumbuh disebuah jalan sepi yang bernama Ujung Tengah. Anggota gerakan ini melakukan perampokan, pencurian,
penculikan dan pembunuhan-pembunuhan terhadap orang yang dianggap mereka
sebagai lawan-lawan atau yang tak disenangi. Kerbau, sapi, beras dan padi
menjadi sasaran pencurian dan perampokan. Pada malam hari mereka merampok
berkeliling kampung. Menurut kepercayaan pemimpin mereka, orang-orang yang
tidak masuk gerakan mereka, boleh dibunuh dan orang itu dianggap kolonialis,
karena itulah banyak orang yang mereka tuduh sebagai kapitalis atau kaki tangan
kolonialis hilang begitu saja atau dikabarkan dibunuh oleh Gerakan Baso ini.
Ada yang mengatakan bahwa
gerakan itu mengajarkan bahwa neraka dan surga itu ada di bumi. Orang-orang
yang diculik itu kemudian disiksa di neraka mereka. Salah seorang tokoh
masyarakat yang disiksa sampai mati di neraka itu adalah Datuk Tumenggung.
Gerakan Baso ini semakin
meningkat di saat pemerintah terpecah belah dan belum memiliki komando negara
yang memadai. Pemerintah sendiri pernah mengirim utusan untuk membujuk dua
bersaudara itu untuk melunakkan tindakan-tindakan mereka yang mengarah pada
tindakan yang semakin brutal. Namun usaha itu tidak berhasil.
Para pemimpin karesidenan
semakin khawatir atas gerakan Baso itu, terutama berkaitan dengan politik yang
ditempuh oleh pemerintah pusat yang dianggap sebagai kompromistis terhadap
kekuatan Belanda, yang sangat tidak memuaskan kalangan masyarakat Minangkabau.
Sementara gerakan Baso dikenal sangat mencela setiap tindakan kompromistis
terhadap Inggris dan Belanda. Selain itu gerakan Baso mempunyai lasykar
bersenjata yang cukup lengkap yang berada di luar kontrol pemerintah. Oleh
karena itu pemerintah sangat khawatir gerakan itu dapat mengilhami dan memicu
rasa ketidakpuasan yang menggumpal di kalangan masyarakat Minangkabau itu
menjadi satu aksi kerusuhan yang sangat merugikan kekuatan Republik dalam
menghadapi kekuatan Belanda dan antek-anteknya.
Untuk mencegah munculnya
permasalahan yang lebih serius lagi maka akhirnya pemerintah di Sumatera barat
memerintahkan tiga Batalion Resimen 1 untuk bergerak menuju Baso. Daerah-daerah
yang menjadi sasaran operasi ini ialah kampung-kampung Simarasok, sungai Sarik,
Pincuran Putih, Ujung Gubuk, Kotatinggi dan hampir seluruh daerah kecamatan
Baso. Operasi militer besar-besaran itu boleh dikatakan tidak mendapatkan
perlawanan yang cukup berarti dari laskar Baso yang sempat menakutkan itu.
Operasi tersebut berhasil menangkap puluhan anggota-anggota Gerakan Baso
beserta kedua pemimpin mereka Tuanku Nan Hitam dan Tuanku Nan Putih. Gerakan
operasi penumpasan berlangsung sampai tanggal 16 April 1946 menurut Abdul
Halim, Komandan Batalion 2 dari Resimen 1, jumlah korban dari peristiwa itu
berjumlah sekitar 113 orang meninggal dunia.
Kedua tokoh Baso itu kemudian
dijatuhi hukuman mati. Menurut pihak keluarga kedua tokoh Baso itu, mereka
tidak pernah diberi tahu secara resmi tentang hukuman itu. Bahkan, mereka tidak
pernah menerima kembali mayat dari anggota keluarganya itu.
Unjuk kekuatan dari
pihak pemerintah itu dianggap perlu meningat situasi politis di Sumatera Barat
cukup kritis. Tindakan yang mereka ambil sekaligus dimaksudkan sebagai
kekuatan-kekuatan yang mencoba membelot dan memanfaatkan kekacauan di daerah
lain di Sumatera Barat.
Peristiwa 3 Maret 1947
Pada hakekatnya,
Peristiwa 3 Maret 1937 merupakan konflik antara berbagai kekuatan-kekuatan
sosial setempat, khususnya dua kekuatan sosial, yaitu pemerintah dengan
TRI-nya. Namun kemudian, konflik ini menjalar dan pemerintah juga harus
berhadapan dengan tokoh-tokoh cendekiawan Barat, dan bahkan partai-partai
dengan laskar bersenjatanya.
Terdapat beberapa hal
yang menjadi latar belakang dari peristiwa ini; diantaranya adalah;
Pertama,
rasa tidak puas dari golongan agama yang merasa bahwa pemerintah sudah
dipengaruhioleh golongan sosialis dan komunis terutama jika dilihat dari
penasihat-penasihat sipil keresidenan yang dekat dengan Residen. Hampir semua
penasihat-penasihat tersebut berasal dari partai sosialis atau komunis.
Kedua, di dalam tubuh pemerintah dan TRI telah tumbuh golongan
cendekiawan yang berpendidikan Barat. Cendekiawan-cendekiawan ini hanya
dianggap mementingkan keduniawian dan mengabaikan masalah agama.
Ketiga, masyarakat merasa tidak puas terhadap sikap pemerintah yang
dianggap memberikan peluang kepada sekutu (NICA) sehingga mengakibatkan
lambannya revolusi.
Keempat, ketidakpuasan
masyarakat melihat kehidupan mewah sejumlah perwira Divisi IX dan dianggap
banyaknya korupsi mulai menghinggapi golongan perwira.
Kelima, di
dalam tubuh TRI sendiri muncul kecemburuan sosial antara perwira-perwira dengan
bawahannya. Apalagi ketika diadakan penggabungan laskar ke dalam tubuh TRI,
kecemburuan antara dua pihak ini tampak semakin terlihat nyata.
Keenam, masyarakat Sumatera Barat pada masa itu, khususnya yang ada
di Bukittinggi berada dalam kondisi sosial ekonomi yang sedang merosot ke
tingkat kemiskinan. Sementara itu, dilain pihak, TRI justru hidup dalam
kemewahan dan banyak melakukan tindakan berfoya-foya.
Selain beberapa
penyebab atau alasan di atas, terdapat satu alasan penting terjadinya
pemberontakan tersebut, yaitu adanya kejengkelan dari beberapa tokoh politisi
agama setempat akibat dari adanya ketimpangan atau ketidakseimbangan mereka di
antara pemerintah pedesaan dan dukungan yang mereka peroleh dari pedesaan
tersebut.
Tokoh-tokoh Islam
seperti Saalah Jusuf Sutan Mangkuto dan Adam B.B. menyaksikan situasi di
karesidenan yang memonopoli posisi penting di lingkaran petinggi sipil dan
militer adalah kelompok intelektual sekuler. Padahal yang memenangkan dalam
pemilihan nagari adalah kelompok agama, khususnya yang saat itu mendapatkan
dukungan dari partai Masyumi.
Rasa tidak puas dari
kelompok Islam memuncak sewaktu diadakan pertemuan KNIP (Komite Nasional
Indonesia Pusat) di Malang yang bertujuan mengesahkan isi perjanjian
Linggarjati. Beberapa kelompok agama menjadi yakin bahwa kaum intelektual
pendidikan Belanda berusaha mencari simpati dan berpikir cara Belanda.
Kemudian muncullah
suatu badan organisasi yang diberi nama PAKI (Pemberantasan Anti Kemerdekaan
Indonesia) yang digerakkan oleh beberapa partai politik Islam dan kelompok
laskar agama dan sekuler. Gerakan ini menyebar di berbagai kota di Sumatera
Barat. Rencana gerakan ini antara lain adalah untuk mengadakan perebutan
kekuasaan di Bukittinggi serta kota-kota lainnya dari tangan sipil dan militer,
sebagai gerakan untuk melaksanakan gerakan dipilihlah barisan Hizbullah tetapi
dinyatakan hanya beberapa orang saja, akan menyerahkan ulama-ulama untuk
membantu memotivasi rakyat dalam rencana perebutan kekuasaan, dan rencana
perebutan kekuasaan ini akan diadakan tanggal 3 Maret 1947.
Kemudian, sesuai dengan
rencana, pada tanggal 3 Maret 1947 dilakuakan pemberontakan tersebut. gerakan
ini dilakukan di Bukittinggi, Padang Panjang, Payakumbuh, Pariaman dan beberapa
kota lainnya di Sumatera Barat. Sasaran yang sebenarnya dalam perebutan
kekuasaan ini berhasil lolos, seperti perwira TRI Ismail Lengah, A. Alim dan
lainnya, dan hanya beberapa tokoh sipil saja yang berhasil ditangkap.
Di Kota Padang Panjang,
Payakumbuh dan Pariaman, gerakan ini tidak jadi meletus karenasituasi dapat
segera diamankan dan dikuasai oleh TKR. Semua pemimpin dari gerakan ini dapat
ditangkap. Ternyata mereka berasal dari berbagai aliran dan golongan. Mereka
kemudian diajukan ke pengadilan. Putusan
pengadilan menyatakan bahwa gerakan ini tidak ditunggangi oleh suatu partai
tertentu dari golongan Islam, yang sekaligus menyatakan bahwa Masyumi adalah
partai yang bersih yang tidak ada sangkut pautnya dengan gerakan pemberontakan
ini.
Salam, di mana sumbernya? Ini menarik, tapi sumbernya dimana? Terima kasih
BalasHapusHeidi Goes
dari Belgia